oleh : Faizunal Abdillah
A’iinuu Aulaadakum
Di dalam Kitab Jami’ Al-Ausath, Imam Thobroni meriwayatkan sebuah hadits yang “asing”, jarang terdengar di telinga, tapi penuh makna, dalam kontek hubungan anak dengan orang tua. Hadits yang dinarasikan oleh Abu Huroiroh itu cukup membuat diri ini “menderita” untuk tidak segera meresponnya. Sebab kalau tidak segera, alamat akan menderita sebenar-benarnya.
Nabi SAW bersabda; ”A’iinu aulaadakum ‘alal bir, man syaa’astakhroja al-‘uquuqo liwalidihi – Menolonglah kalian pada anak-anak kalian atas kebaikan, bagi orang yang berkehendak agar anak-anaknya tidak melukai (berani) kepada orang tuanya”. (Rowahu ath-Thobroni)
Makna tersurat (umum) dari hadits ini, senada dengan atsar-atsar yang lain adalah kewajiban orang tua untuk mengajari adab, membekali ilmu dan mendidik anak-anak mereka dengan baik dan benar. Nah, yang suka terlewat adalah makna tersirat (khususnya), yaitu bagaimana menolong anak-anak dengan perilaku sholeh dari kedua orang tuanya. Tidak hanya menyuruh mereka belajar. Tidak hanya mengirim mereka ngaji di pondok. Atau mengundang guru privat ke rumah. Menyediakan sarana dan prasarana yang lengkap. Lebih dari itu. Selain memberi bekal yang baik, sebagai hak anak, juga dibarengi dengan teladan dan perilaku yang baik pula dari kedua orang tuanya. Mencari rezeki yang halal, melakukan pekerjaan yang baik dan benar, dan membelanjakan ke jalan yang benar pula. Itulah kunci sukses dalam pendidikan anak-anak.
Setelah mengembara, mencari-cari ke dalam lembah kitab dan sela-sela awan makna, akhirnya saya menemukan cerita menarik seiring spirit hadits di atas. Kisah yang saya temui dari kisah Khalifah Umar bin Abdu Aziz ini, cukup menggugah pemahaman dan jalan pencerahan dalam mendidik buah hati, wabilkhusus: bekal sebagai orang tua.
Kisah ini bermula ketika Abu Ja’far Al Manshur diangkat sebagai khalifah kedua Bani Abbasiyah menggantikan Khalifah pertama; Abul’Abbas Al-Safaah pada tahun 137 H. Pada hari pengangkatannya Muqatil bin Sulaiman datang dan menghadapnya di istana. Kemudian Al Manshur berkata kepada Muqatil, “Berilah aku nasehat, wahai Muqatil”.
Muqatil memberikan pilihan, “Ya amirul mukminin, nasehat dari apa yang aku dengar atau yang aku lihat?” Al Manshur menjawab, “Dari yang engkau lihat.” Muqatil berkata, “Wahai Amirul Mukminin, Khalifah Umar bin Abdul Aziz memiliki sebelas anak. Ketika wafat, beliau meninggalkan uang delapan belas dinar. Untuk membayar kain kafan lima dinar dan untuk tanah liang kuburnya empat dinar. Sisanya sembilan dinar diwariskan kepada ahli warisnya.” Setelah jeda sejenak, kemudian Muqatil melanjutkan; “Khalifah Hisyam bin Abdul Malik (pengganti Umar bin Abdul Aziz, keduanya dari Dinasti Bani Umayyah), juga memiliki sebelas anak. Ketika beliau wafat, warisan yang diperoleh oleh masing-masing anaknya satu juta dinar. Demi Allah, wahai Amirul Mukminin, pada suatu hari aku melihat salah seorang anak Umar bin Abdul Aziz bersedekah seratus ekor kuda untuk keperluan jihad fi sabilillah. Dan pada hari yang sama juga, aku melihat salah seorang anak Hisyam bin
Abdul Malik sedang meminta-minta di pasar.”
Suasana hening sejenak, seolah waktu tak mau berlalu, sampai akhirnya Muqatil melanjutkan nasehatnya; Ketika itu, orang-orang bertanya kepada Umar bin Abdul Aziz menjelang wafatnya, “Apa yang engkau tinggalkan untuk anak-anakmu?” Beliau menjawab, “Aku tinggalkan untuk mereka takwa kepada Allah. Jika mereka menjadi orang-orang yang shaleh, maka Allah yang akan mengurus mereka. Jika tidak menjadi orang-orang yang shaleh, maka aku tidak akan menolong mereka untuk bermaksiat kepada Allah. ”
Umar bin Abdul Aziz benar, takwa kepada Allah adalah sebaik-baik warisan orang tua untuk anaknya. Dan bagaimana bisa mewariskan takwa kepada anak turunnya kalau orang tuanya sendiri tidak bertakwa? Itulah yang terjadi dengan Hisyam bin Abdul Malik. Dan rasanya itulah masalah umum yang tengah melanda. Merenungi situasi seperti ini, tak salah jika kita mengingat kembali firman Allah di dalam Surat An-Nisaa:9; “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka kuatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” Spirit ayat ini perlu segera ditegakkan di tiap-tiap diri orang tua. Dan kisah Umar bin Abdul Aziz bisa menjadi panutan.
Menyambung kisah di atas adalah kisah pertemuan Nabi Musa AS dengan Nabi Khidir AS. Pada kasus kedua, ketika Nabi Khidir AS memutar leher seorang bocah hingga tewas, adalah pelajaran berharga buat kita para orang tua. Demikian juga dengan kasus ketiga, ketika Nabi Khidir memperbaiki tembok yang roboh. Pelajarannya adalah ketakwaan dan keshalehan orang tua bermanfaat baik bagi diri mereka sendiri maupun menjadi penyebab anak-anaknya mendapatkan perlindungan dari Allah. Dengarlah penjelasan Nabi Khidir atas protes Nabi Musa yang tertulis di dalam Surat Kahfi 80-82; “Dan adapun anak muda itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). Adapun dinding rumah adalah kepunyaan
dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu;…”
Melihat tumbuh kembang anak-anak seiring waktu, dengan globalisasi dunia yang terus menderu, ditandai tebaran gadget di mana-mana, terkadang terbersit kekhawatiran mendalam. Sudahkah kita terbebas dari kutukan Surat At Tahrim 6; “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu,…” Dan apa jawaban yang akan kita berikan nanti? Semoga siap adanya. Dan sebelum terlanjur jauh jatuh, sembari membangun ketakwaan diri, segeralah meminta pertolonganNya dan berdoa kepadaNya, sebagaimana doa-doa yang telah diajarkan.
“Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (kami), dan jadikanlah kami sebagai teladan bagi orang-orang yang bertakwa.” (Surat Al Furqaan 74)
“Ya Allah jadikanlah anak-anak kami sholih, menjaga quran dan sunnah, faham agamanya, barokah hidupnya di dunia dan akhirat.”
“ Ya Allah senangkanlah mereka pada keimanan, dan hiasilah hati mereka dengan keimanan, dan bencikanlah nya mereka kepada kekufuran, kefasiqan dan penentangan dan jadikanlah mereka orang-orang yang rasyid.”
Mari bersama-sama: a’iinuu aulaadakum.
SAPMB AJKH
oleh: Farida Naura
Ukhti… Seringkali kita mendengar istilah berkerudung, berhijab, maupun berjilbab, namun apakah itu semua sama ? Apakah terbersit dalam benak kita, apakah kerudung, hijab, maupun jilbab adalah sesuatu yang sama saja ?
Mungkin sekilas kita katakan itu adalah sama saja, karena toh sama-sama untuk menutup “sesuatu” (aurat). Iya kan? Hmm… benarkah demikian ? Yuuk kita telusuri lebih jauh lagi mengenai kerudung, hijab, dan jilbab.
KERUDUNG
Kerudung berasal dari bahasa Indonesia, sedangkan dalam bahasa Arab disebut “Khimar” yang artinya tutup/tudung yang menutup kepala, leher, sampai dada wanita. Sekilas kerudung memiliki definisi yang hampir sama dengan jilbab, tetapi dalam kenyataannya tidak sama. Jilbab memiliki arti yang lebih luas, karena jilbab dapat diartikan sebagai busana muslimah yang menjadi satu corak, yaitu busana yang menutup seluruh tubuh, mulai dari atas kepala sampai kedua telapak kakinya yang jadi satu (menyatu) tanpa menggunakan kerudung lagi. Sedangkan khimar (kerudung) itu hanya tudung yang menutupi kepala hingga dada saja.
HIJAB
Hijab berasal dari kata “hajaban” yang artinya menutupi. Hijab menurut Al Quran artinya penutup secara umum. Suatu ketika, sahabat nabi meminta suatu barang kepada istri Nabi yang berada dibalik hijab. Sehingga dapat diartikan secara umum bahwa hijab bisa berupa tirai pembatas dan sejenisnya. Adapun makna lain dari hijab adalah sesuatu yang menutupi/menghalangi dirinya. Jadi, setiap JILBAB adalah HIJAB, tetapi tidak semua HIJAB itu berarti JILBAB.
JILBAB
Jilbab berasal dari bahasa Arab, yang jamaknya “jalaabiib” artinya pakaian yang lapang/luas. Pengertiannya yaitu pakaian yang lapang dan dapat menutup aurat wanita, kecuali muka dan kedua telapak tangan hingga pergelangan saja yang ditampakkan, sesuai dengan yang tertera dalam Al Quran surah Al-Ahzab ayat 59 ”… hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…”.
Sedangkan menurut terminologi, dalam kamus yang dianggap standar dalam Bahasa Arab, jilbab berarti selendang, atau pakaian lebar yang dipakai wanita untuk menutupi kepada, dada dan bagian belakang tubuhnya.
Gimana ? Sudah jelas kan perbedaannya ?
So, dapat kita simpulkan bahwa JILBAB pada umumnya adalah PAKAIAN yang lebar, longgar, dan menutupi seluruh bagian tubuh, sebagaimana disimpulkan oleh Al Qurthuby: Jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
Jadi, PAKAIAN yang masih belum longgar dan belum menutup tubuh berarti BUKAN JILBAB. Yuk evaluasi diri, yang kita pakai sehari-hari itu apakah benar JILBAB atau sekedar “pembalut” tubuh yang dilengkapi KERUDUNG/KHIMAR ?
Pembukaan khataman hadist sunan ibnu majah 3 oleh walikota Kediri H. Abdullah Abubakar
Alhamdulillah acara Ponpes LDII Wali Barokah Kediri yaitu pengkhataman hadist sunan ibnu majah jilid 3 yang akan dilaksanakan mulai tanggal 1-15 Januari 2014 telah dibuka langsung oleh Walikota Kota Kediri H.Abdullah AbuBakar. Selain itu, ada pembacaan Qiroatul Quran dari Ustad May Wan yang pernah menjuarai 2 lomba Qori’ Prov Jabar.
Ustad May Wan
Hal ini merupakan kebanggan sekaligus kepercayaan pemerintah kota Kediri untuk selalu mendukung program-program Ormas LDII melalui ponpes yang selalu dibina dengan baik sehingga di harapkan semakin banyak tercipta manusia yang profesional religius.
Acara seperti rutin dilakukan oleh ormas LDII untuk memberikan ilmu agama seluas-luasnya kepada seluruh masyarakat khususnya untuk peningkatan kefahaman agama. Karena didalam hadist Sunan Ibnu Majah terdapat banyak contoh tauladan Nabi Muhammad SAW, Hukum-hukum islam dll
Peserta yang hadir dalam kegiatan ini sekitar 6000 orang lebih, antusias mencari ilmu agama seperti inilah yang selalu menjadi fokus ormas LDII dalam dakwahnya karena dengan orang semangat mencari ilmu agama maka setiap orang akan menjadi pribadi yang lebih baik dan kemurnian agama islam akan tetap terjaga jaya sampai mendekati hari kiamat nanti.
di copas dari : http://ldiisurabaya.org/pembukaan-khataman-hadist-sunan-ibnu-majah-jilid-3/
Baru sekarang terasa ada ‘sesuatu’ kepada Ibuku. Saya perhatikan seolah kami berdua berlomba berbuat kebaikan. Ketika saya berbuat satu kebaikan, Ibu malah lebih baik lagi kepadaku, dengan berpuluh-puluh kebaikan. Sikapnya melebihi seperti kepada bukan anaknya. Hingga akhirnya saya merasa kalah; kapan saya bisa membalas kebaikannya, kalau terus-menerus Ibu selalu berbuat baik dan baik kepadaku? Padahal seharusnya sayalah yang paling berkewajiban untuk melakukan itu semua – birrul walidain. Padahal saya belum sampai seperti kisah berikut ini. Suatu hari, Ibnu Umar melihat seorang yang menggendong ibunya sambil thawaf mengelilingi Ka’bah. Orang tersebut lalu berkata kepada Ibnu Umar, “Wahai Ibnu Umar, menurut pendapatmu apakah aku sudah membalas kebaikan ibuku?” Ibnu Umar menjawab, ” Belum, meskipun sekadar satu erangan ibumu ketika melahirkanmu. Akan tetapi engkau sudah berbuat baik. Allah akan memberikan balasan yang banyak kepadamu terhadap sedikit amal yang engkau lakukan.” (Diambil dari kitab al-Kabair karya adz-Dzahabi)
Ketika pulang kampung, selalu saja Ibu menyediakan makanan enak kesukaanku waktu kecil. Blenyik (semacam bergedel terbuat dari campuran ketela dan kelapa) dan ingkung (ayam utuh) selalu disediakan. “ Ini untukmu,” katanya. Harusnya sekarang waktukulah untuk menyediakan makanan yang sehat buat Ibuku. Kala dia butuh asupan untuk memelihara kebugaran tubuhnya yang sudah renta. Tapi ini malah sebaliknya. Ketika saya tolak, dengan lembutnya ia menjawab; “Ibu senang, kamu sudah bantu Ibu selama ini. Dan ini sedikit yang bisa Ibu berikan. Makanlah.” Aku pun terkesima, harus bagaimana lagi selain menerima dan mensyukurinya. Rasanya seperti mitra dagang. Jauh di relung hati, tertambat nelangsa, apalagi kalau mengilas balik kisah – kisah istimewa akan hal ini. Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib adalah seorang yang terkenal sangat berbakti kepada ibunya, sampai-sampai ada orang yang berkata kepadanya, ” Engkau adalah orang yang paling berbakti kepada ibumu, akan tetapi kami tidak pernah melihatmu makan bersama ibumu.” Beliau menajawab, “Aku takut kalau-kalau tanganku mengambil makanan yang sudah dilirik oleh ibuku. Sehingga aku berarti mendurhakainya.” (Diambil dari kitab Uyunul Akhyar karya Ibnu Qutaibah). Masih terngiang di dalam ingatan, kalau Ibu suka memberikan bagian-bagain makanan yang terenak kepada anaknya, untuk menghindari rebutan dan keributan. Dan sebenarnnya Ibu pasti menginginkan makanan enak itu, tapi ia mengalah. Rela berbagi dan memilih makan makanan sisa yang ditolak anak-anaknya. Bahkan, makanan yang tidak enak pun dia bilang enak, sangat eunak, agar anaknya mau memakannya, mencontohnya. Ohh, Ibu..! I missed U.
Dan ketika di ujung telepon engkau bertanya; “Gak ada rencana pulang?” Berarti itu sebenarnya perintah untuk pulang. Sayang aku selalu beralasan dengan kesibukan-kesibukan, acara demi acara dan pertemuan ke pertemuan sehingga engkau pun ‘sepertinya’ mafhum adanya. Padahal buat Ibu itu hal sederhana; bertemu dengan wajah anaknya dan cucu-cucunya. Namun justru sekarang berhadapan dengan wajah-wajah kesibukan, topeng-topeng acara, dan rupa-rupa meeting yang abstrak buatnya. Namun, ia mencoba memahami zaman dan segala rupa dinamikanya. Betapa bersalahnya aku, tidak menjawab panggilan itu dengan tepat. Malah, aku hanya minta doa agar semua diberi kelancaran dan kebarokahan. Tidak seperti Haiwah bin Syuraih, seorang ulama besar, yang suatu hari ketika beliau sedang mengajar, ibunya memanggil. “Hai Haiwah, berdirilah! Berilah makan ayam-ayam dengan gandum.” Mendengar panggilan ibunya beliau lantas berdiri dan meninggalkan pengajiannya . (Diambil dari al-Birr wasilah karya Ibnu Jauzi). Masih jauh panggang dari apinya.
Bahkan, kala mendengar kabar sakit Ibupun, masih terus sibuk dengan urusan kerja dan kerja. Seraya dengan mudah bibir ini berkata;”Sudah dibawa ke dokter kan? Ke rumah sakit saja?” Duh, anak macam apa aku ini. Begitu ringannya berkata seperti itu, hanya alasan jarak dan waktu. Dan diri ini tersiksa karenanya. Bertolak belakang dengan Kahmas bin al-Hasan at-Tamimi. Suatu ketika ia melihat seekor kala jengking berada dalam rumahnya, beliau lantas ingin membunuh atau menangkapnya. Ternyata beliau kalah cepat, kalajengking tersebut sudah masuk ke dalam liangnya. Beliau lantas memasukkan tangannya ke dalam liang untuk menangkap kala jengking tersebut. Beliaupun tersengat kala jengking. Melihat tindakan seperti itu ada orang yang berkomentar, “Apa yang kau maksudkan dengan tindakan seperti itu?”
Beliau mengatakan, “Aku khawatir kalau kala jengking tersebut keluar dari liangnya lalu menyengat ibuku.” (Diambil dari kitab Nuhzatul Fudhala’). Ibu, berikan aku kesempatan untuk menjagamu. Maafkanlah anakmu.
Di dalam bebal memori otak anakmu ini, masih terngiang keinginan-keinginan Ibu. Walau itu datang samar dan sendu, deburnya masih jauh belum berlalu. Terekam nian dalam kalbu. Terngiang kencang di telingaku. Aku bisa merasakannya, namun tidak semua bisa aku penuhi. Walau sudah beribu kali aku mohon pertolongan Ilahi Robbi dan usaha kanan-kiri. Semoga cukup waktu untuk semua itu. Dan kemampuan ada bersamaku. Memang tidak seperti cerita Muhammad bin Sirrin yang mengatakan, di masa pemerintahan Ustman bin Affan, harga sebuah pohon kurma mencapai seribu dirham. Meskipun demikian, Usamah bin Zaid membeli sebatang pohon kurma lalu memotong dan mengambil jamarnya (bagian batang kurma yang berwarna putih yang berada di jantung pohon kurma). Jamar tersebut lantas beliau suguhkan kepada ibunya. Melihat tindakan Usamah bin Zaid, banyak orang berkata kepadanya, “Mengapa engkau berbuat demikian, padahal engkau mengetahui bahwa harga satu pohon kurma itu seribu dirham.” Beliau menjawab, “Karena ibuku meminta jamar pohon kurma, dan tidaklah ibuku meminta sesuatu kepadaku yang bisa kuberikan pasti ku berikan.” (Diambil dari sifatush shafwah) Banyak yang bisa aku berikan, sebenarnya, tetapi aku belum bisa melakukannya. Jiwa ini masih berhitung dengan prioritas-prioritas yang bahkan dibuat-buat, hingga mengalahkan prioritas Ibu. Oh, betapa bodohnya aku.
Dalam hening malam bisu, dalam nestapa anak manusia dan pada waktu yang tersisa, aku selalu berdoa untuk kebaikanmu Ibu. Masih banyak yang belum bisa saya lakukan, banyak yang masih harus saya kerjakan, semoga aku bukan menjadi anak yang durhaka. Melalui dirimulah aku lahir ke dunia, atas jasamulah aku bisa seperti sekarang dan kepadamulah aku punya kewajiban hak, semoga engkau bisa menerimanya. Ridha robbi biridhal walaadi. Dan semoga Allah berkenan memberi hidayah kepadamu. Itulah harapan terakhirku. Amin.
SAPMB AJKH
salam,
pf
Tertidur, ngobrol atau berilusi/ngalamun adalah musuh. Musuh kala seseorang mendengarkan. Mendengarkan nasehat, khuthbah atau menerima ilmu dalam kerangka beramal shalih, fastabiqul khairat. Karena ketiganya berujung kepada sikap tidak mengagungkan, selain hilangnya pahala bagi diri sendiri. Tak ada pilihan antara ketiganya. Tertidur itu lebih baik daripada ngobrol. Atau ngobrol itu lebih baik daripada ngalamun atau berfantasi. Berfantasi itu lebih baik daripada tidur. Yang ada hanya meninggalkannya. Itu yang terbaik.
Kalau ‘dipaksa’ memilih antara ketiganya, saya memilih tertidur. Sebab ia tidak menganggu sekitar, kecuali kalau ngorok. Malah kadang orang yang ngantuk atau tertidur bisa jadi hiburan sekitarnya. Berbeda dengan ngalamun, ia menakutkan orang sekitar, walau tidak menganggu. Sebab badannya di sini, tetapi jiwanya entah kemana. Kosong. Bisa-bisa jadi lantaran masuknya jin. Sedangkan ngobrol jelas butuh lawan bicara. Akibatnya menjadi tandingan bagi pembicara. Menganggu sekitar. Malah-malah tanpa sadar, gaungnya bisa mengalahkan sang pembicara. Akan tetapi jelas pilihan – pilihan dengan perbandingan seperti itu tetap salah, sebab dalam hal kejelekan tak ada pilihan terbaik dari yang terjelek. Semua berakibat hilangnya pahala plus tidak mengagungkan –yu’adhim.
Namun sebelum bertindak keluar, alangkah baiknya jika kita menengok dulu ke dalam. Jangan menunjuk hidung orang lain dulu, sebelum instrospeksi diri sendiri. Jangan menyalahkan yang nasehat atau menyampaikan, karena tidak menarik, tidak beryoni atau tidak atraktif. Tetapi mari periksa hati dan jiwa ini, ketika menjalani kegiatan itu. Bagaimana perasaan hati kita saat itu? Senang, sedih atau galau? Apa yang kita rasa saat itu? Sadar atau tidak sadar kalau kita dalam acara pengajian? Apa yang kita mau? Mau yang lain daripada itu. Banyak diantara kita tidak bisa menjaga kesadaran setiap saat. Akibatnya rohmat yang kita harapkan ketika masuk majelis atau masjid enggan menghinggapi diri kita. Inilah jawabannya.
Handhalah Al-Asadi bertutur, suatu ketika, aku berjumpa dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq, “Ada apa denganmu, wahai Handhalah?” tanyanya. “Handhalah ini telah berbuat nifaq,” jawabku. “Subhanallah, apa yang engkau ucapkan?” tanya Abu Bakar “Bila kita berada di sisi Rasulullah SAW, beliau mengingatkan kita tentang neraka dan surga hingga seakan-akan kita bisa melihatnya dengan mata kepala kita. Namun bila kita keluar meninggalkan majelis Rasulullah SAW, istri, anak dan harta kita menyibukkan kita, hingga kita banyak lupa/ lalai,” kataku.
“Demi Allah, kami juga menjumpai yang semisal itu,” Abu Bakar menanggapi perasaan Handhalah. Aku pun pergi bersama Abu Bakar menemui Rasulullah SAW hingga kami dapat masuk ke tempat beliau. “Handhalah ini telah berbuat nifaq, wahai Rasulullah,” kataku. “Apa yang engkau katakan? Mengapa engkau bicara seperti itu?” tanya beliau.
“Wahai Rasulullah, bila kami berada di sisimu, engkau mengingatkan kami tentang neraka dan surge, hingga seakan-akan kami dapat melihatnya dengan mata kepala kami. Namun bila kami keluar meninggalkan majelismu, istri, anak dan harta kami melalaikan kami, hingga kami banyak lupa/ lalai,” jawabku. Mendengar penuturan yang demikian itu, Rasulullah SAW bersabda“Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalian tetap berada dalam perasaan sebagaimana yang kalian rasakan ketika berada di sisiku dan selalu ingat demikian, niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian di atas tempat tidur kalian dan di jalan-jalan kalian. Akan tetapi, wahai Hanzhalah, ada saatnya begini dan ada saatnya begitu.” Rasulullah n mengucapkannya tiga kali. (HR. Muslim no. 6900, kitab At-Taubah, bab Fadhlu Dawamidz Dzikr wal Fikr fi Umuril Akhirah wal Muraqabah, wa Jawazu Tarki Dzalik fi Ba’dhil Auqat wal Isytighal bid Dunya)
Dalam riwayat lain disebutkan sabda Rasulullah SAW di atas dengan lafadz; “Wahai Handhalah, ada saatnya begini, ada saatnya begitu. Seandainya hati-hati kalian senantiasa keadaannya sebagaimana keadaan ketika ingat akan akhirat, niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian, hingga mereka mengucapkan salam kepada kalian di jalan-jalan.” (Rowahu Muslim).
Ternyata, kita dijauhi rohmat dan menjauhkan diri dari sayap malaikat dengan 3 hal di atas. Terlepas dari menarik tidaknya acara amrin jamiin itu, seharusnya rohmat itulah yang kita cari. Dia akan ada, ketika kita mempersiapkan diri untuk kedatangannya. Dan ia akan datang, ketika kita bisa bersikap diam lagi mengagungkan. Ayat- ayat Allah yang menggetarkan hati ketika dibaca akan timbul karenanya. Hadits-hadits yang menyejukkan ketika dimanqulkan akan berasa tumbuh di dada. Nasehat-nasehat yang deras menghunjam akan bermakna mendalam dan melembaga, menghujani sanubari. Niscaya ketenteraman dan ketenangan yang menghampiri, seiring dengan apa yang kita lalui. Damai bahagia. Dan di situlah kita menemukan apa buah dari mengagungkan. “Dan orang-orang yang berjihad ke arah Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. “
SAPMB AJKH
salam,
pf
Ah, lagi-lagi saya terantuk dengan ayat ini. Begitu indah. Mencerahkan. Tak salah, jika ia menjadi semacam bacaan ritual ketika walimatul’urusy. Bukan hanya sedu – sedan suara sang qori melantunkannya, yang cetar-membahana menurut bahasa anak sekarang, memahami maknanya bergetar seluruh hati ini serasa.
Ayat itu berbunyi: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya yaitu Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram dan nyaman kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang (mawaddah wa rohmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS Ar-Ruum:21)
Ya, inilah ayat yang memayungi kehidupan. Dari sinilah kehidupan dibentuk dan ditentukan, kemana arah yang dituju. Dari sebuah lembaga yang bernama keluarga, baik dan buruk masa depan, sangat dipengaruhi oleh kualitas lembaga keluarga ini. Inilah sel kehidupan. Semakin bagus kualitas suatu keluarga, semakin bagus masyarakat yang dibentuknya dan semakin tangguh negara yang menaunginya. Namun di mana-mana, lembaga keluarga ini sedang mengalami keruntuhan menyedihkan. Padahal, mau tak mau, disadari atau tidak disadari lembaga inilah yang amat sangat berperan dan dibutuhkan.
Di koran – koran selalu ada berita kerusuhan. Di TV-TV selalu menampilkan gambar-gambar kekerasan. Di lembaga pendidikan, anak didik tidak terpayungi dengan sopan – santun yang menyejukkan, malah terjangkit virus panas berkelahi dan tawuran. Lembaga adat, yang ramah dan pernah diharap kesaktiannya, sudah tidak dihormat lagi. Perang suku pun muncul kembali, tak terkendali. Di tataran negara juga serupa, muncul perlawanan, demo, kerusuhan dan perang di mana – mana. Baik di dalam maupun di luar. Bahkan lembaga agama pun sama deficit charisma, banyak pemeluknya bertikai atas namanya.
Di tengah suasana yang serba panas ini, sejujurnya keluarga adalah salah satu payung yang amat berpotensi bisa menjadi tempat berteduh dan menyelesaikan semuanya. Sayangnya, hal ini diperparah dengan tingginya angka perceraian. Tawuran pelajar beberapa waktu lalu misalnya, bahkan sampai pada tingkat pembunuhan. Demikian juga dengan perang antar suku, melahirkan pertumpahan darah yang mengerikan. Tidak hanya di Indonesia, di Barat sebagai kiblat modernitas juga serupa. Pasangan-pasangan bule tua yang berwisata ke Bali (yang berumur 80an tahun), kerap memberi informasi yang tidak akurat. Penampilan luarnya yang mesra, bergandengan tangan, berciuman seolah-olah memberi informasi tentang solidnya lembaga keluarga di Barat, ternyata kaprah. Mantan penyiar CNN amat terkenal bernama Larry King pernah jujur membuka rahasia kalau ia pernah menikah delapan kali. Lembaga keluarga sedang mengalami keruntuhan luar biasa dengan tingginya sekaligus menaiknya terus angka perceraian. Amerika Serikat paling ekstrim, tidak saja angka perceraiannya tinggi, anak-anak yang tidak berhasil dipayungi secara sejuk di keluarga, malah melakukan penembakan menakutkan.
Mengilas-balik ayat di atas, perlu kembali memunculkan bahan kontemplasi, keluarga adalah tempat di mana manusia menghabiskan sebagian lebih waktunya, bila di sini tidak tersedia payung menyejukkan, lantas di mana masa depan akan menemukan payung kesejukan? Bagaimana menyelamatkan payung penyejuk bernama keluarga untuk kehidupan selanjutnya? Nah, jawaban itu ada pada ruh yang tersurat dan tersirat dari ayat di atas.
Untuk membangun payung sejuk keluarga, dimulai dengan memaknakan lebih dalam lagi arti cinta – sakinah, mawaddah warohmah. Pesan seorang Guru: “Love is not only a shared pleasures, but also a shared pain“. Cinta sebagai modal terpenting berkeluarga, tidak saja membuat kita mengalami banyak kesenangan bersama, dalam banyak keadaan juga berarti mengalami banyak kesedihan bersama-sama. Ia yang sudah melewati masa berkeluarga lebih dari seperempat abad mengerti, keluarga adalah tempat berteduh sekaligus tempat bertumbuh. Tempat berteduh karena di keluarga kita menerima-diterima, memaafkan-dimaafkan, melayani-dilayani, menyayangi-disayangi, memperhatikan -diperhatikan. Tempat bertumbuh, karena di keluarga juga kita mengalami guncangan-guncangan yang kecil dan besar; sedih – gembira, senang – susah, marah – bahagia, kesulitan – kemudahan. “Romantic love is full of illusion, genuine love and compassion has no illusions. It is simply who we are“. Cinta sesungguhnya tanpa harapan berlebihan, cinta adalah diri kita apa adanya. Terutama karena di keluarga kita hidup telanjang. Semua kelebihan dan kekurangan ketahuan. Jika di sini kita bisa menerima dan mencintai, inilah cinta yang sempurna. Ia tanpa topeng, tanpa pembalut, tanpa ada yang disembunyikan.
Untuk itu periksa kembali niat suci berkeluarga. Intention is the active partner of action, demikian pesan seorang Guru. Niat adalah mitra aktif dalam mencipta. Dan menyangkut niat, terlalu banyak pasangan keluarga yang memulai membangun keluarga dengan niat naif: “mencari surga kecil – kesenangan semata”. Sebuah tempat di mana orang dan barang hanya memberi kita kesenangan. Mereka yang bergantung pada syarat seseorang mencari pasangan hidup dengan menyebut ciri-ciri yang berkaitan dengan kelebihan: “penampilan fisik menarik, anak orang kaya, karirnya bagus, sudah mapan secara ekonomi, sabar, pemaaf, mau mendengar dst”, itulah buktinya. Semuanya memulai dengan niat mendapatkan, menambahkan, menguntungkan. Dengan ayat di atas, agar tidak salah jalan, kita dibimbing dengan niat menyempurnakan; berbuat baik dari hari ke hari, saling berbagi dan member, saling mengisi. Apapun alasan dan asal kita, sebab kita sudah memilih.
Itu sebabnya, ada yang menyebut keluarga sebagai laboratorium spiritual terdalam. Di tempat kerja, kelompok spiritual, dengan tetangga, apa lagi di jalan kita saling mengenal secara amat di permukaan, serta mudah menghindar bila tidak cocok. Akan tetapi di keluarga, terutama dengan anak dan orang tua, tidak ada ruang untuk lari, sehingga menghadirkan hanya satu pilihan: “terima, rawat, sayangi”. Itulah mawadah warohmah. Anehnya, tidak saja yang diterima bertumbuh, yang menerima bahkan bertumbuh lebih jauh lagi – sakinah. Makanya, dalam ilmu kesembuhan ada pesan tua yang masih tetap berguna: “accepting without blaming is the true turning point of healing“. Tatkala kita bisa menerima tanpa menyalahkan, titik balik kesembuhan terjadi. Atau dalam bahasa sebuah doa, bila bisa dirubah rubahlah, jika tidak bisa dirubah terima sajalah. Dan yang bisa membedakan mana yang diterima mana yang dirubah, ia bernama compassion (belas kasih).
Dan bentuk compassion yang berfungsi menjadi obat alami yang sejuk sekaligus dengan dampak negatif yang minimal adalah mengalah. Sekaligus inilah yang dimaksud dengan cinta juga berarti mengalami kepedihan dan kesedihan. Serumah dengan wanita yang mau menopause lengkap dengan emosinya yang labil tentu tidak nyaman, melayani suami yang semakin perkasa sedangkan yang bersangkutan sudah lelah dengan seks juga tidak menenangkan. Lebih-lebih bila ilalang kering ini dibakar oleh anak-anak yang nakal dan tidak mau mengerti. Di sinilah terdengar bel compassion bergetar: “mengalah juga indah”. Sejenis cahaya yang memancar dari dalam tatkala kita bisa memandang bahwa semua mahluk sedang menderita. Penderitaan tidak memerlukan kemarahan, ia memerlukan pelukan kasih sayang. Dengan pelukan kasih sayang inilah, kemudian banyak titik api dalam kehidupan (perceraian, perkelahian, permusuhan) bisa diperciki holy water of compassion (air suci belas kasih). Kemudian menyediakan payung sejuk tempat bertumbuhnya titipan masa depan bernama anak-anak di dalam keluarga. Serupa dengan binaragawan (wati) yang memperkuat otot-otot tubuh dengan mengangkat beban berat, mengalah membuat otot-otot ketulusan dan keikhlasan semakin sempurna dari hari ke hari. Tatkala otot ketulusan dan keikhlasan sempurna, itulah yang kerap disebut buah spiritual. Dan menyangkut buah spiritual ini, mungkin sekarang ada yang berpikir akan maksud hadits Nabi SAW berikut ini; Seorang wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka pilihlah wanita yang mempunyai agama, niscaya kamu beruntung.” [HR. Bukhari dan Muslim]
SAPMB AJKH
salam,
pf
Dulu kala SD, pulang dan pergi biasa dengan jalan kaki. Rasanya senang sekali. Bareng teman – teman sebaya penuh riang dan canda. Bangga, dunia seakan sama di sana – sini. Menginjak SMP, saya masih setia dengan berjalan kaki. Hanya jarak kian bertambah. Sejauh 4 km saya lahap sekali jalan. Terkadang pengin rasanya punya sepeda seperti teman – teman lain yang bisa pulang – pergi sekolah dengan bersepeda. Saat SMA lain lagi, banyak teman yang pulang – pergi sekolah dengan sepeda motor. Sementara saya tetap setia dengan langkah kedua kaki lincah ini. Muncul bayangan betapa indahnya bisa bersekolah dengan naik motor. Di samping keren, juga akan mendapat perhatian dan pemujaan dari khalayak. Termasuk lirikan dari lawan jenis. Siapa yang gak pengin? Memasuki dunia kuliah pun serupa. Tatkala diri ini masih seperti dulu, datang mahasiswa lain yang kuliah dengan roda empatnya. Bahkan sampai di dunia kerja pun tak jauh berbeda. Ketika diri mulai menjinjing kaki di pedal sepeda motor, yang lain sudah memanjakan kaki, melaju di sebuah mobil mewah atau deru motor gede barunya.
Begitulah kehidupan bertutur, selalu ada godaan yang mengelilingi manusia pada semua tingkatan, walau dengan varian yang berbeda. Orang selalu bilang, di atas langit ada langit. Tak ada habisnya. Yang miskin, yang menengah dan yang kaya, yang nganggur maupun yang kerja tak terkecuali. Tak ada yang kebal godaan. Pedagang, pengusaha, pegawai, pejabat, petani, tentara, supir, penekun spiritual sampai dengan tukang sapu, tidak sedikit kepalanya yang diisi oleh gambar-gambar hidup agar cepat kaya. Yang jelas, pilihan menjadi kaya tentu sebuah pilihan yang bisa dimengerti. Terutama dengan kaya manusia berpikir bisa melakukan lebih banyak hal. Sebaliknya, emoh menjadi miskin. Sebab miskin identik dengan penderitaan, kekurangan dan ketergantungan. Soal jalur mana untuk menjadi kaya yang akan ditempuh, pilihan yang tersedia juga amat melimpah. Dari mulai berdagang, jualan asuransi, ikut MLM, memimpin perusahaan, jadi pengusaha atau karyawan, sampai dengan jadi pejabat tinggi.
Itulah kesenangan hidup di dunia, sebagaimana Allah pesankan dalam KitabNya; “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). “ (QS Ali Imron : 14). Gelombang pikiran – pikiran seperti itu akan selalu datang mengejar – ngejar manusia setiap saat. Di sisi lain, kesenangan – kesenangan itu selalu hadir menggelayut di bentang samudra angan, menebar pesonanya kepada setiap insan. Laksana hipnotis yang akan terus menyihir manusia untuk masuk ke dalamnya. Bahkan tak jarang jalan – jalan pintas menjadi pilihannya. Rumusnya; pengin instant: serba cepat gak mau lambat, pengin sesegera mungkin gak mau berlama – lama, pengin senang terus tak mau payah dan serba gampang gak mau sulit. Ya, kesenangan yang membujuk. Tak ada yang selamat, kecuali orang – orang yang eling lan waspada.
Sampai kapan pun, manusia akan terus diombang-ambingkan ombak kehidupan yang bernama keinginan. Sayangnya, banyak yang kandas. Apa yang diinginkan, lain dengan apa yang didapatkan. Alih – alih berpuas diri, malah makin menggila dan lupa diri; senang dunia dan takut akan mati. Oleh karena itu, para penekun kehidupan sering mengingatkan dengan elegannya akan bahaya kehidupan seperti ini. Ada satu hal yang banyak dilupakan orang yaitu pentingnya memiliki rasa cukup. Simaklah salah satunya tembang mocopatnya:
Ono tulising Hyang Widi/Yen wong sabar lan narimo
Kinodrat dowo umure/Sugih kadang pawong mitro, kinacek ing sasomo
Yen kujur o wong iku/Gampang nggone antuk tombo
Terjemahan bebasnya kurang lebih begini:
Sudah digariskan oleh Allah Yang Maha Esa/Orang yang sabar dan menerima/cukup
Dikodar panjang umurnya/Banyak saudara, sahabat dan teman, lebih bermartabat dibanding yang lain
Dan jika sakit orang itu/Akan gampang mendapatkan obat
Dalam bahasa lain, seorang bijak dari timur pernah menganjurkan sebuah jalan kehidupan yang penuh dengan kedamaian, dengan mengatakan: contentment is the greatest wealt – rasa cukup adalah kekayaan terbesar. Tentu agak unik kedengarannya. Asing di telinga. Terutama di zaman yang serba penuh dengan hiruk – pikuk pencarian keluar. Menyebut rasa cukup sebagai kekayaan manusia terbesar, tentu dikira mengada – ada dan bisa dituduh gila. Padahal Kanjeng Nabi Muhammad SAW sudah berabad – abad lalu mengingatkan pentingnya memiliki rasa cukup ini untuk menghadapi dahsyatnya hantaman gelombang samudera kehidupan dunia. Rasulullah SAW bersabda: “Ridlalah dengan apa yang Allah bagikan buatmu, kamu akan menjadi orang terkaya”. (Rowahu Imam Turmudzi 3/377/2407). Apapun jika diliputi dengan rasa cukup, akan tampak luar biasa. Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda: “alqana`atu maalun laa yanfadu wa kanzun laa yafnaa”. Artinya: “Qana`ah itu adalah harta yang tak akan hilang dan pura (simpanan) yang tidak akan pernah lenyap.” (Hadis dirawikan oleh Thabrani dari Jabir).
Banyak orang yang mengartikan salah – kaprah maksud rasa cukup di sini. Ada yang mengira menganjurkan kemalasan, ada yang menuduh sebagai antikemajuan. Dan tentu saja tidak dilarang untuk berpikir seperti ini. Hanya, bagi setiap pejalan kehidupan yang sudah mencoba serta berjalan jauh di jalur-jalur “cukup”, segera akan mengerti, memang merasa cukuplah kekayaan manusia yang terbesar. Bukan merasa cukup kemudian berhenti berusaha dan bekerja. Sekali lagi bukan. Terutama karena hidup serta alam memang berputar melalui hukum-hukum kerja. Sekaligus memberikan pilihan mengagumkan, bekerja dan lakukan tugas masing-masing sebaik-baiknya, namun terimalah hasilnya dengan rasa cukup. Rasa cukup tak lain adalah perwujudan dari ridha sebagaimana hadits di atas.
Dan ada yang berbeda jauh di dalam sini, ketika tugas dan kerja keras sudah dipeluk dengan perasaan cukup. Tugasnya berjalan, kerja kerasnya juga berputar. Namun rasa syukurnya mengagumkan. Sekaligus membukakan pintu bagi perjalanan kehidupan yang penuh kemesraan. Dalam terang cahaya pemahaman seperti ini, rupanya merasa cukup jauh dari lebih sekadar memaksa diri agar damai. Awalnya, apapun memang diikuti keterpaksaan. Namun begitu merasa cukup menjadi sebuah kebiasaan, menjadi tabiat, terpatri, manusia seperti terlempar dengan nyaman ke dalam hening gelombang samudra kehidupan.
Boleh miskin, tetapi dengan memiliki rasa cukup yang berlimpah akan merasa syukur yang pol menjadi orang miskin. Istiqomah dengan jalan hidupnya dan bahagia sepanjang waktu. Kemiskinan bukan suatu beban, melainkan pilihan dari Yang Esa. Persis seperti apa yang dikatakan oleh sahabat Abu Darda ra., “Para pemilik harta makan dan kami juga makan, mereka minum dan kami juga minum, mereka berpakaian kami juga berpakaian, mereka naik kendaraan dan kami pun naik kendaraan. Mereka memiliki kelebihan harta yang mereka lihat dan dilihat juga oleh selain mereka, lalu mereka menemui hisab atas harta itu sedang kita terbebas darinya.” (Al-Qana’ah, mafhumuha, manafi’uha, ath-thariq ilaiha, hal 24-30, Ibrahim bin Muhammad al-Haqiil). Yang hidup menengah lagi pas – pasan pun demikian. Jika rasa cukup telah melingkupi, yang ada hanya syukur dan syukur menjalani kehidupan ini dengan riang – gembira. Ibadah mempeng, tirakat banter dan bekerja keras lagi dengan sungguh – sungguh. Rasulullah SAW bersabda; ”Sungguh beruntung (bahagia) orang yang ditunjukkan (diberi hidayah) kepada islam dan diberi rizqi yang pas-pasan dan menerima dengan hal tersebut”. (Rowahu Imam Muslim 2/730/1045; Tirmidzi 4/6/2452; Ibnu Majah 2/13/16/4138).
Adapun yang kaya, jika telah memiliki rasa cukup yang dalam, tak akan terpengaruh dengan kekayaannya. Rasa cukup menyetirnya untuk mengatur kekayaan di jalan – jalan kehidupan ini sesuai aturan dan petunjukNya. Tidak pelit, tidak boros, suka sedekah dan infaq fi sabilillah. Semua kewajiban dilaksanakan dan semua hak – haknya dipenuhi. Sampai – sampai orang pun iri melihatnya. Dari ‘Abdullah bin Mas’ud ra., ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak boleh hasad kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” (Rowahu HR. Bukhari no. 73 dan Muslim no. 816).
Itulah rasa cukup, kekayaan yang mengagumkan. Dengan rasa cukup yang melimpah dalam hidup yang sebagaimana adanya (bukan yang seharusnya) kita bisa menemukan kehidupan berguna sekaligus pelayanan bermakna buat pihak lain. Keridhaan akan meraja di sini. Memang susah memulainya, apalagi memilikinya. Namun tak perlu ragu, setidaknya kita bisa mulai dengan doa sebagaimana yang Nabi SAW lantunkan; “Ya Allah berikan aku sikap qana’ah terhadap apa yang Engkau rizkikan kepadaku, berkahilah pemberian itu dan gantilah segala yang luput (hilang) dariku dengan yang lebih baik.” (HR al-Hakim, beliau menshahihkannya, dan disetujui oleh adz-Dzahabi). Mudah-mudahan kita bisa hidup berkelimpahan rasa cukup, diiringi keridhaan yang dalam sehingga hidup bergelimang kesyukuran, berjalan istiqomah di jalur kebenaran dan mati husnul khotimah. Amin.
Entah kenapa saya selalu ingin menuliskannya. Ini adalah judul salah satu puisi karya WS Rendra. Mungkin sudah banyak yang mengenalnya, dengan kutipan lengkap atau sebagian. Dialah si Burung Merak. Saya tidak akan mengajak para pembaca untuk menjadi sastrawan. Atau belajar susastra. Tetapi lebih kepada pemahaman akan hidup dan kehidupan.
Pembelajaran bisa kita dapatkan dari siapa pun. Pencerahan bisa datang dari mana saja. Tak kenal waktu. Bahkan tak terduga. Asalkan baik, tidak bertentangan dengan nash atau dalil. Juga hidup itu terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja. Jadi, mari kita nikmati luasnya kehidupan ini. Hiruplah keanekaragamannya. Pandanglah warnanya. Sebab hidup tidak selamanya hanya hitam dan putih, kadang abu-abu bahkan penuh nuansa, penuh warna.
Kalau Ibnu Hajar dapat inspirasi karena tetesan air ke sebuah batu dalam hal belajar. Atau Mushashi yang dapat inspirasi dari pertunjukan topeng monyet, dalam menyempurnakan ilmu pedang samurainya. Barangkali, lewat puisi ini bisa menggugah kesadaran kita dalam meningkatkan kepahaman tentang hidup dan aras ibadah kita. Lewat rangkaian kata – kata. Bukan hal yang mustahil, bisa menjadi sebuah inspirasi, point of view, tentang ibadah, musibah dan doa dari someone else. Yang jelas ini bukan dalil, tetapi cuma sebuah esai. Sebuah cermin dari esensi kehidupan, dari seorang pujangga kata-kata.
Makan Sebuah Titipan
Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan
Bahwa mobilku hanya titipan Nya, bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya
Tetapi, mengapa aku tidak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
(Banyak di antara kita justru tidak merasa kalau semua itu titipan. Bahkan sebagian lagi mengakuisisi, melekatkan diri dengan itu semua. Saya adalah rumah saya, saya adalah mobil saya, saya identik dengan gadget saya. Intinya saya adalah harta saya. Na’udzubillah)
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yg bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh Nya?
(Rendra mengingatkan apa yang harus dilakukan untuk harta titipan itu. Ada hak anak yatim di sana, ada hak orang yang meminta di sana, ada hak orang miskin dan hak infaq di sana. Semua itu bukan 100 % milik kita. Bahkan kalau pun itu lepas dari tangan kita diambil pemiliknya adalah sah-sah saja. Tak perlu disesali dengan begitu dalamnya.)
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja yang melukiskan bahwa itu adalah derita
(Ini sifat alamiah manusia yang berbahaya kalau tidak ditata. Rentan terhadap penderitaan, lupa dengan begitu banyak nikmat yang telah diterima. Tersentuh sedikit langsung keluar aslinya.)
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yg cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta, lebih banyak mobil, lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan.
(Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga) (Ali Imron 14).
Seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika:
“aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku
(Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. Al- Hajj:11)
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku” dan
menolak keputusan Nya yang tak sesuai keinginanku,
(Dan kalau sekiranya Allah menyegerakan kejahatan bagi manusia seperti permintaan mereka untuk menyegerakan kebaikan, pastilah diakhiri umur mereka. Maka Kami biarkan orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami, bergelimangan di dalam kesesatan mereka. QS Yunus :11)
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah…
“Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”
(Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” QS Al-An’am: 162-163))
Selesai membaca puisi ini, seolah-olah saya dinasehati. Tersentak. Termangu. Galau di kalbu. Begitu gagahnya untaian kalimat itu menghunjam sanubari saya. Tanpa jeda. Runut dan tegas. Mengingatkan manusia arti harta – benda yang dititipkan Allah kepadanya. Betapa angkuhnya manusia ketika barang titipanNya diambil oleh yang punya, terus meronta – ronta.
Kedua, perlakuan kita dalam berdoa dan beribadah yang menjadikan Allah sebagai mitra dagang. Apa beda mitra dagang dan kekasih? Rendra sudah menjelaskan. Dan itu terasa ngeneki banget dengan tingkah laku saya selama ini. Saya jadi teringat cerita Nabi Ibrohim. Bagaimana dia bisa mendapat julukan Kholilullooh – kekasih Allah. Tak ada di dunia ini yang mendapat gelar itu, kecuali dia. Tak lain pengorbanan dan ibadahnya yang tiada tara kepada-Nya. Bagaimana dia harus menyembelih anaknya. Bagaimana dia harus meninggalkan anak dan istrinya. Padahal baru saja melahirkan di padang tandus yang tiada berpenghuni. Hanya karena tugas, sebagaimana ditanyakan Hajar; Afillah (Apakah di dalam urusan Allah)? Itulah gambaran kekasih.
Kenapa nggak paham – paham aku ini? Apalagi sampai pada kesimpulan, Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja. Sungguh masih jauh. Hidup ini, maunya yang enak – enak saja. Emoh yang sedih dan sengsara. Padahal, keduanya hakikinya sama. Berpasangan. Tak ada sedih, kalau tak ada gembira. Tak ada susah, kalau tak ada senang. Tak ada siang, kalau tak ada malam. Tak ada kelahiran, kalau tak ada kematian. Ohh,…….!
Padahal Allah telah berfirman; ”Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.” (QS al-Baqoroh 155 – 156)
SAPMB AJKH
salam,
pf
Jakarta banjir lagi. Tak tanggung-tanggung, media memberikan headline bombastis; “Jakarta Lumpuh Total”. Broadcast yang tajam dan menghunjam. Seorang kuli tinta dengan kreatifitasnya memberikan julukan lain buat Jakarta: “Jakarta Oceanorium”. Apapun sebutannya, apapun julukannya, banjir memang langganan tahunan bagi Ibu Kota Republik ini. Jakarta, menurut cerita, lebih dari 40% wilayahnya di bawah ketinggian air laut. Parahnya, Jakarta juga dikepung 13 sungai beserta anak sungai dan sejumlah kanal. Belum lagi kawasan hulu Bopunjur, yang berperan besar dalam “kiriman”nya. Melihat situasi ini, memang seharusnya ada upaya khusus membebaskan Jakarta dari banjir. Dan Gubernur baru pun – Pak Jokowi – konon sudah punya rencana mengatasinya walau secara bertahap. Belum lagi beranjak dari rencana, sudah disuguhkan kenyataan banjir yang menggila di Jakarta ini. mau tak mau harus. Biayanya pasti sangat mahal. Tapi wajib dilakukan. Kalau dibiarkan begitu saja, pasti situasinya akan bertambah runyam dari waktu ke waktu.
Mungkin karena sudah menjadi langganan, terkadang kita menganggapnya biasa bukan bencana. Lihatlah wajah-wajah korban banjir, ketika muncul di televisi, kelihatan lebih banyak senyum daripada terlihat sedih dan frustrasi, walaupun berita-berita menyebutkan bahwa bantuan dari pemerintah belum sampai atau tidak sampai. Kebanyakan upaya dan bantuan, seperti evakuasi korban dan dapur umum, lebih banyak dilakukan swadaya oleh masyarakat di sekitarnya. Hal ini bisa ditengarai sebagai bagian bentuk penghayatan yang mendalam sebuah kesyukuran. Toh, dalam satu tahun paling hanya beberapa hari saja ketiban banjir. Lainnya masih bebas banjir. Tapi bisa juga perwujudan sebuah kepasrahan. Daripada berputus-asa dengan berbagai usaha dan janji yang akan menangani banjir ini dari pejabat public, mending dinikmati saja. Betapa mengharukannya.
Di samping cerita sedih karena kehilangan harta-benda bahkan nyawa, atau cerita kepasrahan seperti di atas, ada juga cerita kemanusiaan yang berbeda, yang menunjukkan kreativitas dan jiwa entrepreneur. Sepeti tampak di layar kaca, begitu banjir datang, beberapa anak muda langsung menjadi entrepreneur dadakan. Dengan modal gerobak sampah, mereka menyediakan jasa menyeberangi kawasan banjir dengan gerobak itu. Sekali menyeberang Rp 20.000. Lumayan ramai bisnis mereka. Juga tampak dari gambar-gambar itu, kebiasaan lama kita dimana hampir di setiap daerah tempat banjir meluap, banyak sekali orang menonton banjir, selain anak-anak yang riang bermain air. Jadi, banjir ternyata menjadi suatu hiburan dan seru juga. Banjir memiliki daya tarik sebagai tontonan.
Walaupun korban tampak pasrah, musibah bencana alam di negeri ini tetap menampilkan skenario lama; menyedihkan. Bangsa kita umumnya lemah di dalam masalah follow-up dan koordinasi. Dalam manajemen ada pemeo beken: “Leadership has to do with direction. Management has to do with the speed, coordination and logistics in going in that direction.” Manajemen musibah banjir juga membutuhkan “leadership” dan “coordination“. Mungkin musibah banjir kali ini bisa menjadi inspirasi tentang pendidikan dan pembelajaran yang pas pula soal follow-up dan koordinasi.
Sudah ada beberapa kemajuan dibanding tahun – tahun sebelumnya untuk masalah koordinasi ini, seperti pengumuman Jakarta menjadi daerah darurat bencana banjir. Bahkan ditetapkan sampai tanggal 27 Januari. Namun tetap saja masih spot center, dimana yang dikunjungi pejabat di situ banyak mendapat perhatian, sedangkan yang tidak diliput media atau didatangi pejabat, kadang masih tertinggal, tak terjamah dan tak terperhatikan. Lantaran kurang koordinasi, diduga lebih banyak lagi korban tidak terdata dan tidak pula tersentuh.
Pemerintah juga tidak menyediakan tempat pengungsian. Akibatnya, korban banjir mengungsi asal saja. Ada yang mengungsi di kuburan, bantaran sungai, bantaran kereta api, masjid, dan sekolah. Malah diberitakan, ada yang sampai mengungsi seadanya di emperan toko, mal, dan gedung-gedung komersial. Hal ini tak akan terjadi jika follow up dan koordinasi berjalan dengan baik. Ya begitulah wajah kita sementara ini.
Dari dimensi yang lain, peristiwa ini memberikan pelajaran kepada kita umat manusia. Apa yang sehari – hari kita butuhkan, kita cari dan menjadi teman, dekat dengan kita, pada saatnya bisa berubah menjadi bahaya dan bencana. Contohnya air, udara dan api. Manusia butuh air untuk minum, tetapi ketika Allah menurunkan air hujan yang begitu banyak, terjadilah banjir. Air bukan menjadi kebutuhan lagi, tetapi menjadi musuh bahkan kadang membinasakan. Tidak ada banjir yang lebih hebat disbanding banjir Nabi Nuh, dimana seisi dunia lenyap kecuali yang tinggal di perahu Nabi Nuh AS. Manusia juga butuh udara untuk bernafas, tetapi tornado adalah udara yang membinasakan. Kaum Nabi Luth habis oleh topan 7 hari 8 malam. Demikian juga dengan api untuk memasak. Kelebihan api menjadi mala petaka. Maka dari itu dalam Surat an-Naml : 72 Allah berfirman; ‘Katakanlah: “Mungkin telah membonceng kepadamu (berada di sekitarmu/dekat denganmu) sebagian dari azab yang kamu minta (supaya) disegerakan itu.”
Karena itu, mari belajar dari setiap peristiwa yang menghampar di depan kita. Jangan sia-siakan lewat begitu saja. Betapa pahitnya, betapa getirnya, tetap membawa pencerahan bagi jiwa kita yang bebas merdeka. Terlebih jika kita sudah memiliki kesabaran yang nyata, seperti kata WS Rendra : “Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”. Sudahkah kita memilikinya?
SAPMB AJKH