Ah, lagi-lagi saya terantuk dengan ayat ini. Begitu indah. Mencerahkan. Tak salah, jika ia menjadi semacam bacaan ritual ketika walimatul’urusy. Bukan hanya sedu – sedan suara sang qori melantunkannya, yang cetar-membahana menurut bahasa anak sekarang, memahami maknanya bergetar seluruh hati ini serasa.
Ayat itu berbunyi: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya yaitu Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram dan nyaman kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang (mawaddah wa rohmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS Ar-Ruum:21)
Ya, inilah ayat yang memayungi kehidupan. Dari sinilah kehidupan dibentuk dan ditentukan, kemana arah yang dituju. Dari sebuah lembaga yang bernama keluarga, baik dan buruk masa depan, sangat dipengaruhi oleh kualitas lembaga keluarga ini. Inilah sel kehidupan. Semakin bagus kualitas suatu keluarga, semakin bagus masyarakat yang dibentuknya dan semakin tangguh negara yang menaunginya. Namun di mana-mana, lembaga keluarga ini sedang mengalami keruntuhan menyedihkan. Padahal, mau tak mau, disadari atau tidak disadari lembaga inilah yang amat sangat berperan dan dibutuhkan.
Di koran – koran selalu ada berita kerusuhan. Di TV-TV selalu menampilkan gambar-gambar kekerasan. Di lembaga pendidikan, anak didik tidak terpayungi dengan sopan – santun yang menyejukkan, malah terjangkit virus panas berkelahi dan tawuran. Lembaga adat, yang ramah dan pernah diharap kesaktiannya, sudah tidak dihormat lagi. Perang suku pun muncul kembali, tak terkendali. Di tataran negara juga serupa, muncul perlawanan, demo, kerusuhan dan perang di mana – mana. Baik di dalam maupun di luar. Bahkan lembaga agama pun sama deficit charisma, banyak pemeluknya bertikai atas namanya.
Di tengah suasana yang serba panas ini, sejujurnya keluarga adalah salah satu payung yang amat berpotensi bisa menjadi tempat berteduh dan menyelesaikan semuanya. Sayangnya, hal ini diperparah dengan tingginya angka perceraian. Tawuran pelajar beberapa waktu lalu misalnya, bahkan sampai pada tingkat pembunuhan. Demikian juga dengan perang antar suku, melahirkan pertumpahan darah yang mengerikan. Tidak hanya di Indonesia, di Barat sebagai kiblat modernitas juga serupa. Pasangan-pasangan bule tua yang berwisata ke Bali (yang berumur 80an tahun), kerap memberi informasi yang tidak akurat. Penampilan luarnya yang mesra, bergandengan tangan, berciuman seolah-olah memberi informasi tentang solidnya lembaga keluarga di Barat, ternyata kaprah. Mantan penyiar CNN amat terkenal bernama Larry King pernah jujur membuka rahasia kalau ia pernah menikah delapan kali. Lembaga keluarga sedang mengalami keruntuhan luar biasa dengan tingginya sekaligus menaiknya terus angka perceraian. Amerika Serikat paling ekstrim, tidak saja angka perceraiannya tinggi, anak-anak yang tidak berhasil dipayungi secara sejuk di keluarga, malah melakukan penembakan menakutkan.
Mengilas-balik ayat di atas, perlu kembali memunculkan bahan kontemplasi, keluarga adalah tempat di mana manusia menghabiskan sebagian lebih waktunya, bila di sini tidak tersedia payung menyejukkan, lantas di mana masa depan akan menemukan payung kesejukan? Bagaimana menyelamatkan payung penyejuk bernama keluarga untuk kehidupan selanjutnya? Nah, jawaban itu ada pada ruh yang tersurat dan tersirat dari ayat di atas.
Untuk membangun payung sejuk keluarga, dimulai dengan memaknakan lebih dalam lagi arti cinta – sakinah, mawaddah warohmah. Pesan seorang Guru: “Love is not only a shared pleasures, but also a shared pain“. Cinta sebagai modal terpenting berkeluarga, tidak saja membuat kita mengalami banyak kesenangan bersama, dalam banyak keadaan juga berarti mengalami banyak kesedihan bersama-sama. Ia yang sudah melewati masa berkeluarga lebih dari seperempat abad mengerti, keluarga adalah tempat berteduh sekaligus tempat bertumbuh. Tempat berteduh karena di keluarga kita menerima-diterima, memaafkan-dimaafkan, melayani-dilayani, menyayangi-disayangi, memperhatikan -diperhatikan. Tempat bertumbuh, karena di keluarga juga kita mengalami guncangan-guncangan yang kecil dan besar; sedih – gembira, senang – susah, marah – bahagia, kesulitan – kemudahan. “Romantic love is full of illusion, genuine love and compassion has no illusions. It is simply who we are“. Cinta sesungguhnya tanpa harapan berlebihan, cinta adalah diri kita apa adanya. Terutama karena di keluarga kita hidup telanjang. Semua kelebihan dan kekurangan ketahuan. Jika di sini kita bisa menerima dan mencintai, inilah cinta yang sempurna. Ia tanpa topeng, tanpa pembalut, tanpa ada yang disembunyikan.
Untuk itu periksa kembali niat suci berkeluarga. Intention is the active partner of action, demikian pesan seorang Guru. Niat adalah mitra aktif dalam mencipta. Dan menyangkut niat, terlalu banyak pasangan keluarga yang memulai membangun keluarga dengan niat naif: “mencari surga kecil – kesenangan semata”. Sebuah tempat di mana orang dan barang hanya memberi kita kesenangan. Mereka yang bergantung pada syarat seseorang mencari pasangan hidup dengan menyebut ciri-ciri yang berkaitan dengan kelebihan: “penampilan fisik menarik, anak orang kaya, karirnya bagus, sudah mapan secara ekonomi, sabar, pemaaf, mau mendengar dst”, itulah buktinya. Semuanya memulai dengan niat mendapatkan, menambahkan, menguntungkan. Dengan ayat di atas, agar tidak salah jalan, kita dibimbing dengan niat menyempurnakan; berbuat baik dari hari ke hari, saling berbagi dan member, saling mengisi. Apapun alasan dan asal kita, sebab kita sudah memilih.
Itu sebabnya, ada yang menyebut keluarga sebagai laboratorium spiritual terdalam. Di tempat kerja, kelompok spiritual, dengan tetangga, apa lagi di jalan kita saling mengenal secara amat di permukaan, serta mudah menghindar bila tidak cocok. Akan tetapi di keluarga, terutama dengan anak dan orang tua, tidak ada ruang untuk lari, sehingga menghadirkan hanya satu pilihan: “terima, rawat, sayangi”. Itulah mawadah warohmah. Anehnya, tidak saja yang diterima bertumbuh, yang menerima bahkan bertumbuh lebih jauh lagi – sakinah. Makanya, dalam ilmu kesembuhan ada pesan tua yang masih tetap berguna: “accepting without blaming is the true turning point of healing“. Tatkala kita bisa menerima tanpa menyalahkan, titik balik kesembuhan terjadi. Atau dalam bahasa sebuah doa, bila bisa dirubah rubahlah, jika tidak bisa dirubah terima sajalah. Dan yang bisa membedakan mana yang diterima mana yang dirubah, ia bernama compassion (belas kasih).
Dan bentuk compassion yang berfungsi menjadi obat alami yang sejuk sekaligus dengan dampak negatif yang minimal adalah mengalah. Sekaligus inilah yang dimaksud dengan cinta juga berarti mengalami kepedihan dan kesedihan. Serumah dengan wanita yang mau menopause lengkap dengan emosinya yang labil tentu tidak nyaman, melayani suami yang semakin perkasa sedangkan yang bersangkutan sudah lelah dengan seks juga tidak menenangkan. Lebih-lebih bila ilalang kering ini dibakar oleh anak-anak yang nakal dan tidak mau mengerti. Di sinilah terdengar bel compassion bergetar: “mengalah juga indah”. Sejenis cahaya yang memancar dari dalam tatkala kita bisa memandang bahwa semua mahluk sedang menderita. Penderitaan tidak memerlukan kemarahan, ia memerlukan pelukan kasih sayang. Dengan pelukan kasih sayang inilah, kemudian banyak titik api dalam kehidupan (perceraian, perkelahian, permusuhan) bisa diperciki holy water of compassion (air suci belas kasih). Kemudian menyediakan payung sejuk tempat bertumbuhnya titipan masa depan bernama anak-anak di dalam keluarga. Serupa dengan binaragawan (wati) yang memperkuat otot-otot tubuh dengan mengangkat beban berat, mengalah membuat otot-otot ketulusan dan keikhlasan semakin sempurna dari hari ke hari. Tatkala otot ketulusan dan keikhlasan sempurna, itulah yang kerap disebut buah spiritual. Dan menyangkut buah spiritual ini, mungkin sekarang ada yang berpikir akan maksud hadits Nabi SAW berikut ini; Seorang wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka pilihlah wanita yang mempunyai agama, niscaya kamu beruntung.” [HR. Bukhari dan Muslim]
SAPMB AJKH
salam,
pf