Jakarta banjir lagi. Tak tanggung-tanggung, media memberikan headline bombastis; “Jakarta Lumpuh Total”. Broadcast yang tajam dan menghunjam. Seorang kuli tinta dengan kreatifitasnya memberikan julukan lain buat Jakarta: “Jakarta Oceanorium”. Apapun sebutannya, apapun julukannya, banjir memang langganan tahunan bagi Ibu Kota Republik ini. Jakarta, menurut cerita, lebih dari 40% wilayahnya di bawah ketinggian air laut. Parahnya, Jakarta juga dikepung 13 sungai beserta anak sungai dan sejumlah kanal. Belum lagi kawasan hulu Bopunjur, yang berperan besar dalam “kiriman”nya. Melihat situasi ini, memang seharusnya ada upaya khusus membebaskan Jakarta dari banjir. Dan Gubernur baru pun – Pak Jokowi – konon sudah punya rencana mengatasinya walau secara bertahap. Belum lagi beranjak dari rencana, sudah disuguhkan kenyataan banjir yang menggila di Jakarta ini. mau tak mau harus. Biayanya pasti sangat mahal. Tapi wajib dilakukan. Kalau dibiarkan begitu saja, pasti situasinya akan bertambah runyam dari waktu ke waktu.
Mungkin karena sudah menjadi langganan, terkadang kita menganggapnya biasa bukan bencana. Lihatlah wajah-wajah korban banjir, ketika muncul di televisi, kelihatan lebih banyak senyum daripada terlihat sedih dan frustrasi, walaupun berita-berita menyebutkan bahwa bantuan dari pemerintah belum sampai atau tidak sampai. Kebanyakan upaya dan bantuan, seperti evakuasi korban dan dapur umum, lebih banyak dilakukan swadaya oleh masyarakat di sekitarnya. Hal ini bisa ditengarai sebagai bagian bentuk penghayatan yang mendalam sebuah kesyukuran. Toh, dalam satu tahun paling hanya beberapa hari saja ketiban banjir. Lainnya masih bebas banjir. Tapi bisa juga perwujudan sebuah kepasrahan. Daripada berputus-asa dengan berbagai usaha dan janji yang akan menangani banjir ini dari pejabat public, mending dinikmati saja. Betapa mengharukannya.
Di samping cerita sedih karena kehilangan harta-benda bahkan nyawa, atau cerita kepasrahan seperti di atas, ada juga cerita kemanusiaan yang berbeda, yang menunjukkan kreativitas dan jiwa entrepreneur. Sepeti tampak di layar kaca, begitu banjir datang, beberapa anak muda langsung menjadi entrepreneur dadakan. Dengan modal gerobak sampah, mereka menyediakan jasa menyeberangi kawasan banjir dengan gerobak itu. Sekali menyeberang Rp 20.000. Lumayan ramai bisnis mereka. Juga tampak dari gambar-gambar itu, kebiasaan lama kita dimana hampir di setiap daerah tempat banjir meluap, banyak sekali orang menonton banjir, selain anak-anak yang riang bermain air. Jadi, banjir ternyata menjadi suatu hiburan dan seru juga. Banjir memiliki daya tarik sebagai tontonan.
Walaupun korban tampak pasrah, musibah bencana alam di negeri ini tetap menampilkan skenario lama; menyedihkan. Bangsa kita umumnya lemah di dalam masalah follow-up dan koordinasi. Dalam manajemen ada pemeo beken: “Leadership has to do with direction. Management has to do with the speed, coordination and logistics in going in that direction.” Manajemen musibah banjir juga membutuhkan “leadership” dan “coordination“. Mungkin musibah banjir kali ini bisa menjadi inspirasi tentang pendidikan dan pembelajaran yang pas pula soal follow-up dan koordinasi.
Sudah ada beberapa kemajuan dibanding tahun – tahun sebelumnya untuk masalah koordinasi ini, seperti pengumuman Jakarta menjadi daerah darurat bencana banjir. Bahkan ditetapkan sampai tanggal 27 Januari. Namun tetap saja masih spot center, dimana yang dikunjungi pejabat di situ banyak mendapat perhatian, sedangkan yang tidak diliput media atau didatangi pejabat, kadang masih tertinggal, tak terjamah dan tak terperhatikan. Lantaran kurang koordinasi, diduga lebih banyak lagi korban tidak terdata dan tidak pula tersentuh.
Pemerintah juga tidak menyediakan tempat pengungsian. Akibatnya, korban banjir mengungsi asal saja. Ada yang mengungsi di kuburan, bantaran sungai, bantaran kereta api, masjid, dan sekolah. Malah diberitakan, ada yang sampai mengungsi seadanya di emperan toko, mal, dan gedung-gedung komersial. Hal ini tak akan terjadi jika follow up dan koordinasi berjalan dengan baik. Ya begitulah wajah kita sementara ini.
Dari dimensi yang lain, peristiwa ini memberikan pelajaran kepada kita umat manusia. Apa yang sehari – hari kita butuhkan, kita cari dan menjadi teman, dekat dengan kita, pada saatnya bisa berubah menjadi bahaya dan bencana. Contohnya air, udara dan api. Manusia butuh air untuk minum, tetapi ketika Allah menurunkan air hujan yang begitu banyak, terjadilah banjir. Air bukan menjadi kebutuhan lagi, tetapi menjadi musuh bahkan kadang membinasakan. Tidak ada banjir yang lebih hebat disbanding banjir Nabi Nuh, dimana seisi dunia lenyap kecuali yang tinggal di perahu Nabi Nuh AS. Manusia juga butuh udara untuk bernafas, tetapi tornado adalah udara yang membinasakan. Kaum Nabi Luth habis oleh topan 7 hari 8 malam. Demikian juga dengan api untuk memasak. Kelebihan api menjadi mala petaka. Maka dari itu dalam Surat an-Naml : 72 Allah berfirman; ‘Katakanlah: “Mungkin telah membonceng kepadamu (berada di sekitarmu/dekat denganmu) sebagian dari azab yang kamu minta (supaya) disegerakan itu.”
Karena itu, mari belajar dari setiap peristiwa yang menghampar di depan kita. Jangan sia-siakan lewat begitu saja. Betapa pahitnya, betapa getirnya, tetap membawa pencerahan bagi jiwa kita yang bebas merdeka. Terlebih jika kita sudah memiliki kesabaran yang nyata, seperti kata WS Rendra : “Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”. Sudahkah kita memilikinya?
SAPMB AJKH